Koropak.co.id - Lain halnya dengan Jawa Timur, Jawa Tengah, atau Yogyakarta, para anggota PKI atau yang 'dicap' PKI di Jawa Barat tidak sampai mengalami pembantaian. Melainkan mereka dipekerjakan secara paksa di pabrik karet di kawasan Panembong, Cianjur.
Pabrik karet yang kini telah berubah menjadi kantor cabang bank swasta, dulunya sempat dialihfungsikan sebagai kamp para tapol PKI pasca peristiwa G30S. Salah satu korban Kamp Panembong tersebut adalah Rosidi. Dikatakan korban sebab Rosidi adalah korban salah tangkap.
Dilansir dari buku Cerita Hidup Rosidi karya Tosca Santosa, penangkapan Rosidi berlangsung ketika dia berkunjung ke rumah Salna, pamannya yang biasa dipanggil Mang Ocon. Belum lama dia duduk, Rosidi didatangi dua tentara. Mereka mencari pemilik rumah yang saat itu kebetulan baru masuk kamar. Entah apa yang menyebabkan Rosidi berkata jika Salna berada di sawah. Kedua tentara kemudian itu menanyakan identitas Rosidi, yang disambut Rosidi dengan mengeluarkan kartu Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia).
Kartu Sarbupri didapatnya ketika bekerja di pabrik teh Ciguha. Kartu tersebut merupakan satu-satunya kartu identitas yang dimilikinya, pun kartu yang menyelamatkannya dari tagihan biaya berobat. Nahas, keberuntungan kartu Sarbupri bagi Rosidi mengalami titik akhir. Rosidi ditangkap karena kartu tersebut. Sebab menurut penuturan dua tentara itu, Sarbupri dicap sebagai organisasi PKI.
Rosidi tidak pernah tahu-menahu tentang polemik politik di Jakarta saat itu. Rosidi tidak pernah ke Jakarta, pun tidak mengikuti PKI meski ia sangat mengidolakan sosok Sukarno. Kendati dijelaskan oleh para tentara pun, Rosidi tetap tak bisa memahaminya.
Rosidi hanya orang kecil yang terkena imbas besar. Kartu Sarbupri menyeret Rosidi sebagai tahanan politik selama 13 tahun, tanpa proses peradilan. Tiga belas tahun itu dihabiskan Rosidi dengan berpindah-pindah, selama 11 tahun dia dipenjara di Kamp Panembong (1965-1976) dan 2 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Kebon Waru Bandung (1976-1978). Selama itulah Rosidi dan tapol lain dijadikan pekerja gratis alias budak.
Baca : Keberadaan Pemuda Pancasila untuk Melawan Ideologi Komunis
Pekerjaan yang pernah dilakoni Rosidi ialah mengeruk pasir sungai, membalak hutan, memecah batu, hingga memasak di rumah makan. Sebagian besar hasil pekerjaan itu diserahkan dan dinikmati tentara.
Oneh, istrinya, dan anak-anaknya yang ikut mendampingi Rosidi di Kamp Panembong menjadi alasan dia bekerja berkali-kali lipat. Usai seharian bekerja untuk tentara, malamnya Rosidi menyambi sebagai pemburu kodok. Meski menekuni usaha lain, anak-anaknya kerap masih kelaparan. Anak keduanya bahkan sering membenturkan kepala ke tembok untuk meredam rasa lapar.
Selama mendampingi Rosidi di tahanan, Oneh melahirkan tiga orang anak. Dia bukan satu-satunya istri tahanan yang ikut mendampingi suami. Sebagian tahanan lain pun didampingi istri, kendati tidak begitu banyak.
Kamp Panembong yang merupakan bangunan bekas pabrik, menjadikan para tapol di dalam tahanan tidur bergeletakan. Melihat hal itu, Rosidi berinisiatif membuat penyekat berbahan gedek sebagai ruang tidur istrinya.
Kesulitan yang dialami Rosidi tidak serta-merta lepas begitu dia keluar dari penjara. Kendati mendapat hibah lahan tempat tinggal beserta kebun di Sarongge, Rosidi masih mengalami kelaparan. Situasi menyedihkan itu diperparah dengan stigma dari rezim Orde Baru terkait komunisme atau eks tapol PKI. Bahkan, perundungan dan diskriminasi selalu dialami anak-anak Rosidi di sekolah.
Stigmatisasi terkait komunisme yang disebarkan rezim Orde Baru terkadang masih melekat dalam diri sebagian orang. Komunisme lebih sering memunculkan ketakutan, padahal apabila dikritisi, peristiwa komunisme kerap dibayangi tragedi kemanusiaan.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini
Serla Fadila
Koropak.co.id - Lahir pada tahun 990 Masehi, Airlangga merupakan keturunan bangsawan. Putra dari Pangeran Udayana, raja Kerajaan Bedahulu di Bali, dan Ratih Mahendradatta, putri Kerajaan Medang, darah bangsawan mengalir deras dalam nadinya.
Dilansir dari narasisejarah.id, dari prasasti Pucangan yang kini disimpan di museum Kalkutta, India, Airlangga adalah pewaris tahta dengan warisan budaya yang mendalam, yang dituliskan dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno.
Airlangga tumbuh dengan dua adik, Marakata dan Anak Wungsu, yang keduanya meneruskan takhta Kerajaan Bedahulu. Selain itu, dia juga memiliki garis keturunan dari Empu Sindok, raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur.
Kehidupannya mengalami perubahan drastis ketika pada usia 16 tahun, dia dinikahkan dengan Dewi Galuh, putri Raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang. Namun, pernikahan mewah tersebut mendadak terhenti ketika pasukan dari Kerajaan Sriwijaya menyerang tanpa peringatan dalam sebuah peristiwa yang dikenal sebagai pralaya, atau pemusnahan.
Saat serangan terjadi, Airlangga berhasil lolos dari maut dengan bantuan Mpu Narottama dan sekelompok kecil pengikut setia. Dalam pelariannya, dia mencari perlindungan di Gunung Wanagiri, tempat ia menghabiskan waktunya dengan merenung dan meditasi, berharap mendapatkan petunjuk dari Dewa Wisnu untuk mengembalikan kejayaan Kerajaan Medang.
Baca: Menguak Mitos Sendang Made, Tempat Sakral Petilasan Raja Airlangga
Kesempatan itu datang ketika Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran akibat serangan dari Kerajaan Chola dari India. Melihat momentum ini, Airlangga dengan pasukan yang kurang dari 2.000 prajurit, berhasil merebut kembali Kerajaan Medang dari 5.000 tentara Sriwijaya yang mendudukinya.
Setelah merebut kembali kerajaan, Airlangga memindahkan ibu kota ke Wwatan Mas, dekat Gunung Penanggungan. Tak lama kemudian, ia memindahkan lagi pusat kerajaannya ke Kahuripan. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Kahuripan mengalami kebangkitan, yang ditandai dengan pembangunan bendungan, candi, dan perkembangan sastra.
Namun, ketenangan ini tidak berlangsung lama. Dua putra Airlangga, Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya, berkonflik untuk menguasai takhta. Melihat konflik yang terjadi, Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaan menjadi dua bagian, dengan Kahuripan di bawah kekuasaan Mapanji dan Dhaha di bawah kekuasaan Sri Samarawijaya.
Mengundurkan diri dari politik, Airlangga memutuskan untuk memulai kehidupan baru sebagai pertapa, mencari kedamaian rohani hingga akhir hayatnya. Namun, warisannya sebagai seorang pemimpin visioner dan pembaharu terus hidup dalam sejarah tanah Jawa Timur.
Baca juga: Kerajaan Kahuripan, Mahakarya Raja Airlangga di Tanah Jawa
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di kawasan Makassar, Sulawesi Selatan, lahir seorang putra raja yang kelak menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Dialah Sultan Hasanuddin, yang dijuluki "Ayam Jantan dari Timur" karena keberaniannya melawan Belanda.
Lahir pada 12 Januari 1631 di kota Makassar, Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape, atau Sultan Hasanuddin, adalah putra dari Kesultanan Islam Gowa-Tallo.
Kesultanan yang telah memeluk Islam sejak 1605 ini menjadi bagian dari latar belakang kehidupannya, membentuk karakter dan pandangan dunianya.
Sebagai Sultan Gowa ke-16, Hasanuddin memimpin dari tahun 1653 hingga 1669, mengambil alih kekuasaan setelah kematian ayahnya pada tahun 1655. Prestasinya dalam memimpin dan melindungi kerajaannya dari ancaman asing membuatnya mendapat julukan dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 6 November 1973.
Sultan Hasanuddin memang tak hanya dikenal karena kemaharajaannya tetapi juga ketegasannya. Ketika kongsi dagang Hindia Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mencoba memonopoli perdagangan rempah-rempah, sesuatu yang sangat penting bagi ekonomi Kesultanan Gowa-Tallo.
Baca: Lembayung Sejarah Kejayaan dan Warisan Kerajaan Gowa Tallo
Hasanuddin mengumpulkan kekuatan dan menyiapkan armada, ia bahkan membentuk aliansi dengan kerajaan-kerajaan tetangga untuk memperkuat garis depannya.
Namun, tidak semua raja sejalan dengan visi Hasanuddin. Arung Palakka, berasal dari Kerajaan Bone, melarikan diri ke Batavia dan meminta bantuan VOC untuk menghancurkan Kesultanan Gowa. Ini mengawali Perang Makassar (1666-1669), pertempuran besar antara Kesultanan Gowa dengan VOC dan sekutunya.
Meskipun dengan sumber daya dan strategi militer yang impresif, tekanan dari VOC terus meningkat, membuat Sultan Hasanuddin harus mengambil keputusan sulit. Pada 18 November 1667, ia menandatangani Perjanjian Bongaya, sebuah kesepakatan yang merugikan Gowa. Namun, ini tidak mematahkan semangatnya untuk terus berjuang melawan penjajah.
Sayangnya, perjuangan tersebut harus berakhir tragis. Pada 12 Juni 1670, Sultan Hasanuddin meninggal dunia akibat penyakit ari-ari, namun meninggalkan warisan dan cerita heroik yang terus dikenang oleh generasi berikutnya.
Sultan Hasanuddin akhirnya diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, pada tanggal 6 November 1973.
Baca juga: Sultan Agung, Sang Penguasa Mataram dan Peranannya dalam Penyerbuan ke Batavia
Serla Fadila
Koropak.co.id - Nama I Gusti Ngurah Made Agung, raja berdarah biru dari Denpasar, menandai jejaknya pada era penuh gejolak ketika Bali berhadapan dengan dominasi kolonial Belanda.
Lahir di Denpasar pada tanggal 5 April 1876, I Gusti Ngurah Made Agung adalah putra mahkota dari I Gusti Gede Ngurah Pemecutan, Raja Badung V.
Menginjak usia kepemudaan, ia telah dinobatkan sebagai Raja Badung VII pada tahun 1902, menggantikan ayahnya dan memimpin rakyatnya melawan intervensi Belanda.
Dilansir dari situs resmi Kemendikbud, pada awal abad ke-20, seiring dengan tumbuhnya ambisi kolonial Belanda, Perang Puputan Badung meletus sebagai simbol perlawanan rakyat Bali.
Baca: Kisah Heroik Puputan Badung, Kebangkitan Bali Melawan Kolonialisme
Pemerintah Hindia Belanda, dengan percaya diri, menganggap bahwa menguasai Kerajaan Badung berarti menguasai seluruh Bali. Namun, satu sosok berdiri teguh melawan anggapan tersebut adalah Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung. Baginya, integritas, kedaulatan, dan kehormatan kerajaannya adalah hal yang sakral dan tak bisa ditawar.
Tragisnya, dalam pertempuran heroik tersebut, ia gugur pada 22 September 1906. Meskipun kehilangan fisik, namun semangat perjuangannya tetap hidup dan berkobar.
Sebagai penghormatan, sebuah patung didirikan di perempatan Jalan Veteran Denpasar-Jalan Pattimura, Denpasar. Tidak hanya itu, pada 4 November 2015, atas kontribusinya yang besar bagi bangsa, Presiden Joko Widodo memberinya gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No 116/TK/2015.
Kehidupan I Gusti Ngurah Made Agung bukan hanya tentang kisah seorang raja yang berjuang melawan kolonialis, namun juga tentang bagaimana seorang pemimpin, yang menginspirasi bangsanya untuk berdiri teguh demi integritas dan kehormatan.
Baca juga: Sepenggal Kisah Pakubuwono IV, Raja Surakarta Guru Para Pujangga
Serla Fadila
Koropak.co.id - Keumalahayati, seorang perempuan kelahiran Aceh pada 1 Januari 1550, tidak sekadar menjadi bagian dari riwayat Nusantara, tetapi berdiri sebagai ikon perlawanan dan keberanian yang mencengangkan.
Dilansir dari indonesia.go.id, berlatar belakang keluarga berdarah biru, Malahayati tumbuh dalam sorotan istana dan gema peperangan. Dengan nasib yang menempatkannya sebagai pemimpin pasukan pertama yang seluruh anggotanya adalah perempuan, Malahayati mengubah sejarah.
Kisah awalnya berasal dari keluarga aristokrat, di mana sang ayah adalah Laksamana Mahmud Syah, Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh, dan sebagai cicit dari Sultan Salahuddin Syah.
Dididik di Mahad Baitul Maqdis, salah satu akademi militer terkemuka, Malahayati mewarisi ilmu dan keterampilan perang yang akan menjadi aset berharga dalam peperangannya melawan kolonialisme.
Namun, hidup tidak selalu berpihak kepadanya. Ketika perlawanan pertama terhadap Portugis di Selat Malaka pada 1586 mengakibatkan kematian suaminya, keberanian Malahayati dinyalakan dengan api dendam.
Ia merespons dengan berdiri sebagai laksamana, menjadi perempuan pertama di dunia yang memegang posisi tersebut, dan dengan cekatan membentuk pasukan perempuan Inong Balee.
Pasukan ini bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi juga representasi dari kehilangan dan sakit hati yang dirasakan oleh para janda yang kehilangan pasangannya dalam pertempuran.
Baca: Nenek Moyangku Orang Pelaut: Elegi Kemaritiman Indonesia Masa Lampau
Keberanian dan kecerdasan Malahayati memimpin pasukannya untuk melawan para penjajah, membuat namanya dikenang sebagai lambang perlawanan Aceh.
Keberaniannya dalam menghadapi musuh diakui oleh banyak pihak, termasuk Ratu Elizabeth I dari Inggris yang mengirim utusan khususnya, James Lancaster, untuk berunding dengan Malahayati.
Dalam sebuah pertempuran yang menegangkan dengan Cornelis de Houtman, Malahayati berhasil meraih kemenangan dengan membunuhnya, menegaskan posisinya sebagai salah satu pemimpin militer paling hebat di masanya.
Namun, seperti semua legenda, hidup Malahayati pun harus berakhir. Wafat pada tahun 1615, ia meninggalkan warisan yang tak terlupakan.
Diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo, kisahnya menjadi inspirasi bagi generasi baru di Indonesia. Pelabuhan Malahayati di Aceh Besar menjadi saksi bisu dari kejayaannya, dan upaya untuk menghidupkan kembali kisahnya melalui teater mengingatkan kita semua tentang keberanian dan dedikasi Malahayati.
Dalam narasi sejarah Indonesia, Malahayati akan selalu berdiri sebagai laksamana perempuan pertama, pionir yang menginspirasi banyak perempuan lainnya untuk berdiri tegar di tengah badai.
Baca juga: Raden Dewi Sartika, Sosok Pahlawan Pendidikan dan Emansipasi Wanita Indonesia
Serla Fadila
Koropak.co.id - Chaerul Saleh, seorang patriot yang dianugerahi gelar Datuk Paduko Rajo, terlahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada 13 September 1916 dari pasangan Achmad Saleh dan Zubaidah binti Ahmad Marzuki.
Dibalik kisah heroiknya, terdapat kisah pribadi yang menunjukkan kekuatannya. Di usia dua tahun, keluarganya bercerai, memaksanya untuk mengarungi hidup di antara kota Medan dan Lintau.
Dilansir dari koransulindo.com, masa remajanya di Medan membawa kisah cinta dengan Yohana Siti Menara Saidah, yang kemudian menjadi istrinya. Demi cintanya, ia pindah ke Batavia untuk menuntut ilmu.
Menyelesaikan pendidikannya di Recht School di Batavia, Chaerul mengembangkan semangat perjuangannya dan menduduki posisi penting dalam Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia.
Perjuangan melawan penjajah Jepang menempa keteguhan Chaerul dalam menentang segala bentuk penindasan. Chairul memainkan peran penting menjelang proklamasi kemerdekaan dan ketika mempertahankan integritas Naskah Proklamasi.
Baca: Agus Noor, Sastrawan Serbabisa yang Banyak Menulis Sindiran Sosial-Politik
Sebagai pengikut Tan Malaka, seorang revolusioner yang gigih, Chaerul memahami arti sebenarnya dari perjuangan. Baik Tan Malaka maupun Chaerul menilai kemerdekaan sebagai perjuangan yang tidak pernah berakhir, bahkan setelah proklamasi. Meskipun harus mendekam dalam penjara, semangat perjuangan mereka tidak pernah pudar.
Di bawah naungan Partai Murba, Chaerul mencapai puncak kariernya dalam politik Indonesia. Meski sempat tersandung dalam Peristiwa Banten Selatan, Chaerul menuntaskan studinya di Jerman dan terus berkiprah di kancah politik nasional. Konsep Wawasan Nusantara yang diperjuangkannya memberikan Indonesia kedaulatan penuh atas lautan di antara pulau-pulaunya.
Sepanjang karir politiknya, Chaerul Saleh merupakan tokoh yang anti-PKI. Ia kerap melawan berbagai gerakan dan agitasi PKI. Tragisnya, ketika rezim Orde Baru melakukan “pembersihan” pasca Peristiwa Gestapu, Chaerul malah ikut ditangkap.
Mungkin, karena ia dianggap sebagai tokoh Soekarnois garis keras. Chaerul dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, hingga meninggal dunia di penjara, 8 Februari 1967, di usia 50 tahun. Sebagaimana banyak tahanan politik lainnya di masa itu, ia tak pernah diajukan ke meja hijau.
Semasa hidupnya, Chaerul memiliki jiwa patriotisme yang mengalir deras didalam darahnya. Maka tak heran ketika mendengar berita kematiannya yang mendadak di dalam penjara, banyak kalangan nasionalis yang sedih dan marah.
Baca juga: Nirwan Dewanto, Aktivis yang Jadi Penulis Produktif
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di suatu sudut Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, tepatnya di Dolok Sanggal, pada 16 Desember 1912, dunia menyambut kelahiran seorang calon legenda arsitektur Indonesia, Friedrich Silaban.
Tanah Batak yang melahirkan banyak talenta kembali mengukuhkan namanya dalam sejarah, kali ini melalui sosok anak kelahirannya yang gemar dengan konstruksi dan bangunan sejak duduk di bangku remaja.
Dilansir dari harapanrakyat.com, meski tumbuh dalam lingkungan tradisional, kecintaan Silaban pada arsitektur membawanya menapaki kota besar, Bandung. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia mengasah pengetahuannya hingga akhirnya bersinar dan melanjutkan pendidikan di jantung Eropa, Academie van Bouwkunst Amsterdam, Belanda.
Beranjak pulang ke tanah air, pria yang kerap mengepulkan asap rokok dari pipanya ini menjadi tokoh sentral dalam pembangunan Indonesia era Sukarno.
Tangan-tangannya menciptakan ikon-ikon bangsa, mulai dari Monumen Nasional (Monas) hingga Masjid Istiqlal. Seperti seorang penyair yang menuangkan gagasan dalam bentuk kata, Silaban mengukir gagasan Sukarno dalam bentuk bangunan.
Baca: Hari Istiqlal, Perjalanan Mesjid Terbesar di Asia Tengah
Namun, tak selamanya jalan yang ditempuhnya mulus. Di era Orde Baru, ketika tembok Masjid Istiqlal hendak diganti dengan marmer, Silaban menunjukkan integritasnya dengan berani menentang keputusan tersebut.
Keberanian Silaban menentang Orde Baru menjadi legenda tersendiri, bagaimana seorang arsitek dengan segudang prestasi memilih integritas daripada kompromi. Hal tersebut mencerminkan bagaimana Silaban bukan hanya seorang arsitek, namun juga seorang patriot dan pejuang keadilan.
Silaban adalah manifestasi dari harmonisasi antara seni dan sains, tradisi dan modernitas. Seorang Batak asli yang mengukir namanya dalam sejarah arsitektur Indonesia, dan mewakili visi Sukarno tentang kebesaran dan kemandirian bangsa Indonesia. Lewat karya-karyanya, Indonesia bukan hanya dikenal, namun juga dihormati.
Dilansir dari en.wikipedia.org, Hingga akhirnya, tahun 1983 membawa berita duka, kesehatan Silaban memburuk. Meski telah banyak yang ia lalui, namun saat itu jelas bahwa tubuhnya mulai menyerah.
Lalu ada 14 Mei 1984, dunia kehilangan salah satu arsitek terbaiknya. Di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, sang legenda arsitektur Indonesia menghembuskan napas terakhir, meninggalkan jejak dan inspirasi bagi generasi berikutnya.
Baca juga: Bukan Sembarang Tempat Ibadah, Masjid Istiqlal Kaya akan Sejarah
Serla Fadila
Koropak.co.id - Eko Agus Prawoto, atau yang lebih akrab disapa Eko Prawoto, adalah lambang dedikasi dan kreativitas di dunia arsitektur Indonesia.
Lahir di tengah semangat perjuangan Flores pada 4 Oktober 1926, Eko memulai perjalanan akademiknya dengan meraih gelar Sarjana Arsitektur dari Universitas Gadjah Mada pada 1982.
Tetapi, jenjang akademik bukan satu-satunya yang menjadikan namanya begitu dihormati. Pengalaman sebagai dosen di Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Kristen Duta Wacana sejak 1985, memberikan dia wadah untuk berbagi ilmu dan inspirasi.
Lebih dari itu, pencapaian Eko tak berhenti hanya sebagai seorang akademisi. Ketika banyak arsitek memilih pendekatan modern, Eko justru konsisten mempertahankan filosofi lokalitas dalam setiap karyanya. Ia memadukan teknologi modern dengan material tradisional, menciptakan karya arsitektur yang harmonis dengan lingkungannya.
Dilansir dari kostatv.id, lewat Eko Prawoto Architecture Workshop yang didirikannya pada 2000, Eko berhasil memberikan sentuhan magisnya pada berbagai proyek, dari rumah pribadi hingga fasilitas publik.
Karyanya yang memadukan elemen lokal seperti kayu, bambu, dan batu alam dengan teknik desain kontemporer menjadi bukti nyata komitmennya pada keberlanjutan dan kelestarian lingkungan.
Baca: Hari Arsitektur Indonesia dan Peran Serta Arsitek dalam Pembangunan Nasional
Tak hanya terkenal di Indonesia, namanya juga melambung di kancah internasional. Berbagai pameran di penjuru dunia, seperti Venice Biennale dan Singapore Biennale, menjadi saksi bisu kegeniusan Eko dalam merancang.
Media internasional seperti Taipei Times bahkan memberikan sorotan khusus pada proyek sosialnya yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat lokal.
Namun, yang paling menonjol dari Eko bukanlah karya-karyanya, melainkan keputusannya untuk hidup di tengah-tengah masyarakat desa.
Bagi Eko, hidup di desa bukanlah tentang menjauh dari kehidupan perkotaan, tetapi lebih pada pencarian arti hidup yang sesungguhnya adalah harmoni dengan alam dan kebersamaan dengan masyarakat.
Kabar duka kepergiannya pada 13 September 2023 meninggalkan duka yang mendalam bagi dunia arsitektur Indonesia. Meskipun sosoknya tiada, warisan karyanya dan prinsip hidupnya akan selalu menjadi inspirasi bagi generasi-generasi arsitek muda Indonesia.
Eko Prawoto, arsitek yang menjadi jembatan antara tradisi dan masa depan, telah menorehkan sejarah yang tak akan pernah pudar.
Baca: Jejak Langkah Frans Seda: Sang Pahlawan dari Flores ke Puncak Negeri
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di balik angin perubahan yang berhembus pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, berdiri seorang sosok yang dikagumi, Raden Boentaran Martoatmodjo.
Lelaki yang lahir dari rahim Desa Loano, Purworejo, pada tanggal 11 Januari 1896, memulai perjalanan hidupnya dengan pendidikan berkualitas di lingkungan Eropa, berkat dukungan keluarganya yang berasal dari kalangan bangsawan Jawa.
Pendidikannya di Stovia, Batavia, mengantarkannya pada panggilan hidup sebagai seorang dokter. Setelah merampungkan studi pada tahun 1918, Boentaran menorehkan jejak langkahnya di berbagai penjuru tanah air.
Dari Semarang hingga Banjarmasin, ia menjadi pejuang kesehatan yang berperan penting dalam memberantas berbagai wabah penyakit.
Tidak berhenti sebagai praktisi medis, Boentaran juga mengukir prestasi sebagai akademisi. Universitas Leiden di Belanda menjadi saksi bagaimana pria ini mengejar ilmu dengan penuh gairah.
Di sana, Boentaran bukan sekadar mahasiswa biasa, ia juga aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan menjalin pertemanan dengan tokoh-tokoh nasional lainnya.
Kembalinya ia ke Indonesia membawa semangat baru. Di tengah pergolakan nasional, Boentaran menunjukkan komitmennya pada bangsa dengan terlibat aktif dalam berbagai organisasi dan inisiatif kemanusiaan.
Baca: Sejarah dan Dedikasi: Memahami Perjalanan Palang Merah Indonesia
Keterlibatannya dalam Chuo Sangi-in dan BPUPKI mengukuhkannya sebagai sosok yang tidak hanya peduli kesehatan, tetapi juga perubahan sosial dan politik.
Boentaran adalah pribadi yang visioner. Dalam diskusi BPUPKI, ia dengan tegas menegaskan pentingnya kesehatan rakyat sebagai fondasi kekuatan bangsa. Baginya, kesehatan rakyat lebih dari sekadar isu medis, ia merupakan kunci utama dalam membangun bangsa yang kuat dan sejahtera.
Puncak dedikasi Boentaran untuk bangsanya terlihat saat ia ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan pertama Republik Indonesia.
Tangan dinginnya membawa sejumlah inisiatif kesehatan yang revolusioner, salah satunya adalah pendirian Palang Merah Indonesia. PMI, yang kini menjadi simbol kemanusiaan di tanah air, lahir dari visi dan dedikasi Boentaran.
Namun, seperti layaknya pahlawan, setiap kisah memiliki akhir. Boentaran Martoatmodjo menutup mata untuk terakhir kalinya pada 3 Oktober 1979.
Meski begitu, warisan dan jejak langkahnya tetap abadi, memberi inspirasi bagi generasi penerus bangsa. Sebuah perjalanan hidup yang mengajarkan kita tentang pengabdian, dedikasi, dan cinta tanah air.
Baca: Mengenang Hari Palang Merah Indonesia, Sebarkan Misi Kemanusiaan Sejak Awal Berdiri
Serla Fadila
Koropak.co.id - Franciscus Xaverius Seda, atau yang populer dengan nama Frans Seda, adalah sosok yang tak asing di dunia perekonomian Indonesia. Lahir di Flores, tanah kelahiran para pejuang, pada 4 Oktober 1926.
Dilansir dari modakemenhub.wordpress.com, sebagai anak petani sederhana di Lekebai, Sikka, Maumere, Frans tidak hanya bermimpi besar, namun juga berani mengejar mimpi-mimpi itu hingga ke Jawa dan Eropa.
Menjadi salah satu dari sedikit putra Indonesia yang berkesempatan belajar di Kolose van Lith, Muntilan, kemudian melanjutkan ke Katolieke Economische Hogeschool, Belanda, Frans mengukir jejak sebagai seorang Doktorandus Ekonomi pada tahun 1956.
Menginjakkan kaki dalam lingkup pemerintahan Indonesia, Frans Seda memulai perjalanannya sebagai Menteri Perkebunan dalam Kabinet Kerja IV yang berlangsung dari tahun 1963 hingga 1964.
Dedikasinya di bidang perekonomian membawa namanya kemudian dipercayakan sebagai Menteri Keuangan dalam era Kabinet Ampera I dan II, yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1968.
Tak berhenti di situ, perjalanan pelayanannya bagi negara berlanjut saat ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan Pariwisata pada Kabinet Pembangunan I dari tahun 1968 hingga 1973.
Baca: Sejarah 17 September: Perjalanan dan Kesadaran Perhubungan Indonesia
Di tengah perjuangannya membangun konektivitas antar pulau dan etnik di Indonesia, komunikasi dan telekomunikasi menjadi salah satu kebijakan strategis yang diinisiasinya. Melalui tangan dingin Frans Seda, barisan pulau-pulau Nusantara, dengan keragaman etnik dan dialeknya, semakin terjalin erat, memudahkan interaksi sosial dan ekonomi.
Bagi rakyat Nusa Tenggara Timur, Frans adalah pahlawan yang membangun jembatan. Sebagai Menteri Perhubungan, Frans tidak hanya membuka langit NTT dengan penerbangan perintis, tetapi juga memperhatikan sarana perhubungan darat dan laut. Dengan kapal perintis dan bandara-bandara baru, isolasi wilayah NTT mulai terobati.
Frans Seda bukan hanya tokoh pemerintahan di satu era, namun telah melewati tiga zaman penting Indonesia; dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi.
Lebih dari seorang pemimpin, Frans Seda adalah saudara bagi banyak orang. Meskipun hidup di era dimana rasisme masih kental, ia berhasil menerobos batas-batas tersebut dan menunjukkan bahwa integritas, dedikasi, dan kerja keras mengalahkan segalanya.
Sebagai seorang yang memahami pentingnya ilmu pengetahuan, ia selalu berbagi. Sayangnya, pada 2009 dunia harus kehilangan sosok hebat ini, hingga akhir hayatnya, Frans tetap menjadi inspirasi.
Baca: Menelusuri Sejarah Panjang Kementerian Perhubungan
Serla Fadila
Koropak.co.id - Lahir di kawasan Ujung Malang (kini dikenal sebagai Ujungharapan) di Babelan, Kabupaten Bekasi, KH Noer Alie memancarkan kecemerlangan sejak muda.
Ia tumbuh di keluarga yang terbilang sederhana, ayahnya bernama Anwar bin Layu, adalah seorang petani, sementara Ibunya bernama Maimunah binti Tarmin.
Dilansir dari harapanrakyat.com, sejak kecil, KH Noer Alie menunjukkan tanda-tanda kepemimpinan. Selalu ingin berada di garis depan, ia sering mengatakan pada teman-temannya bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi pemimpin agama.
Sang guru pun mengenali potensi besar dalam diri Noer Alie, beliau sering kali mengingatkannya dengan ayat Alquran, Baldatun thoyyibatun warobbun ghofur yang artinya negara sejahtera yang dilindungi oleh Allah.
KH Noer Alie memulai perjalanan pendidikannya dengan mempelajari dasar-dasar Islam dan ilmu-ilmu lainnya dari berbagai guru.
Gagasan untuk mendalami ilmu membawanya bahkan hingga ke tanah suci Mekah, di mana ia menimba ilmu dari 1934 hingga 1940. Selama di Mekah, KH Noer Alie tidak hanya memperdalam ilmu keislaman tetapi juga aktif dalam organisasi mahasiswa, seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan Persatuan Tabah Indonesia (PTI).
Baca: Bekasi, Dari Kerajaan Tarumanegara hingga Kota Modern
Ketika kembali ke tanah air, KH Noer Alie bukan hanya menjadi pendakwah yang ulung tetapi juga seorang pejuang yang berani menantang penjajah.
Ia menentang keras ide pembentukan Republik Indonesia Serikat dan menjadi pendukung kuat konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kiprahnya di medan perjuangan membuatnya dijuluki "Singa Karawang-Bekasi".
Di luar aktivitas revolusionernya, KH Noer Alie juga dikenal sebagai seorang pendidik. Di kampung halamannya, Ujung Harapan, ia mendirikan Pondok Pesantren Attaqwa, yang hingga kini tetap berdiri dan menjadi asuhan generasi berikutnya dari keluarga besar KH Noer Alie.
Meskipun sempat menduduki beberapa jabatan di pemerintahan, KH Noer Alie tetap memegang teguh prinsipnya untuk tidak menjadi pegawai pemerintah. Ia percaya bahwa pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan tanpa harus berada dalam struktur formal pemerintah.
KH Noer Alie menghembuskan napas terakhir pada 29 Januari 1992. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepadanya, sebuah pengakuan atas dedikasinya bagi Indonesia.
Sebagai pahlawan yang memperjuangkan NKRI, nama KH Noer Alie selalu dikenang dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Legasi dan semangatnya tetap hidup, memotivasi generasi penerus untuk terus berjuang bagi tanah air.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Yuli Riza
Koropak.co.id - Haji Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far, yang lebih dikenal dengan nama Ebiet G. Ade, adalah seorang musisi dan penulis lagu asal Indonesia yang lahir pada tanggal 21 April 1955.
Ebiet G. Ade dikenal luas atas karya-karya musiknya yang mengangkat tema alam dan kisah-kisah duka kelompok yang tersisihkan dalam masyarakat.
Melalui lagu-lagu bergenre folk pop, country, dan soft rock, yang sering kali dihadirkan dalam format balada, Ebiet berhasil menggambarkan realitas kehidupan Indonesia dari akhir tahun 1970-an hingga saat ini.
Karya-karya musiknya mencakup beragam tema, termasuk alam, sosial-politik, bencana, aspek religius, dan dinamika keluarga, di antara banyak lainnya. Sentuhan musikalitasnya tidak hanya memikat pendengarnya tetapi juga membawa inovasi dalam dunia musik pop Indonesia.
Hal yang mencolok adalah bahwa semua lagu yang diciptakan oleh Ebiet G. Ade adalah hasil karyanya sendiri, dengan pengecualian dua lagu, yaitu "Surat dari Desa" yang ditulis oleh Oding Arnaldi dan "Mengarungi Keberkahan Tuhan" yang ia ciptakan bersama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Nama "Ebiet G. Ade" sendiri berasal dari pengalaman uniknya saat mengikuti kursus Bahasa Inggris. Guru Bahasa Inggris yang merupakan orang asing kesulitan dalam memanggilnya dengan nama aslinya, "Abid" Ghoffar. Akibat perbedaan logat, Abid kemudian sering dipanggil "Ebiet" oleh teman-temannya. Dalam Bahasa Inggris huruf "A" dibaca seperti "E", sehingga nama "Ebiet G. Ade" diambil dari penggabungan ini.
Ebiet mengungkapkan bahwa ia lahir di Wanadadi, Banjarnegara, sebagai anak bungsu dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan ibunya adalah seorang pedagang kain.
Baca: Mengenang Penyanyi Legendaris Pop Minang, Elly Kasim
Meskipun pada awalnya memiliki beragam cita-cita, seperti menjadi insinyur, dokter, atau pelukis, Ebiet akhirnya menemukan panggilan dalam dunia seni, yang lebih tepatnya dalam kepenyairan dan musik.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Ebiet melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Banjarnegara. Namun, karena beberapa alasan, ia kemudian pindah ke Yogyakarta.
Di Yogyakarta, ia menempuh pendidikan di SMP Muhammadiyah 3 dan kemudian melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Selama di SMA, ia aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).
Meskipun memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Ebiet akhirnya memilih bergabung dengan grup vokal setelah mendapatkan saran dari ayahnya yang seorang pensiunan.
Namun, perubahan besar dalam hidupnya terjadi saat ia mulai belajar gitar dari kakaknya, Ahmad Mukhodam, dan kemudian mengikuti kursus gitar di Yogyakarta dengan bantuan seorang guru bernama Kusbini.
Awalnya, ia hanya tampil dalam pertunjukan seni lokal di Yogyakarta dan sekitarnya, memusikalisasikan puisi-puisi karya tokoh seperti Emily Dickinson dan Nobody. Namun, dorongan dari teman-teman di Persada Studi Klub (PSK) dan rekan satu kosnya akhirnya mengubahnya menjadi seorang musisi yang berani mengejar karier di dunia musik Nusantara.
Setelah mengalami penolakan berkali-kali dari berbagai label rekaman, Ebiet akhirnya diterima oleh Jackson Record pada tahun 1979. Pada bulan Mei tahun yang sama, ia merilis album debutnya yang berjudul "Camellia I," yang diproduseri oleh Jackson Arief.
Pada awal kariernya, ia menggunakan nama "Ebiet G AD," singkatan dari Ghoffar dan Aboe Dja'far, namun kemudian nama tersebut disederhanakan menjadi "Ebiet G. Ade."
Berkat prestasinya di dunia musik, Ebiet berhasil memenangkan beberapa penhargaan seperti, Penghargaan Diskotek Indonesia (1981), Penyanyi solo dan balada terbaik Anugerah Musik Indonesia (1997), Penghargaan Peduli Award Forum Indonesia Muda (2006), Penyanyi kesayangan Siaran Radio ABRI (1989-1992) dan lainnya.
Sayangnya sang legendaris musik telah meninggal pada 21 April 2023, di usinya yang ke 69 tahun. Meskipun dirinya sudah tiada namun, karya-karya ciptaannya akan tetap dikenang dan diingat di hati par penggemarnya.
Silakan tonton berbagai video menarik disini:
Serla Fadila
Koropak.co.id - Sebagai komandan angkatan udara, seorang dokter, dan juga ahli radio, Abdulrachman Saleh merangkum semangat perjuangan generasinya dalam setiap peran yang dilakukannya.
Dilansir dari laman resmi TNI-AU, pria kelahiran 1 Juli 1909 di Kampung Ketapang, Jakarta ini, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mendidiknya dengan pengetahuan dan disiplin. Ayahnya, Dr. Mohammad Saleh, adalah tokoh dokter yang memiliki hubungan dengan dr. Sutomo, pendiri Budi Utomo dan ibu bernama Ismudiati.
Meskipun masa kecilnya dihabiskan dengan berpindah-pindah, semangat Abdulrachman untuk belajar tidak pernah padam. Ia berhasil menamatkan pendidikannya menjadi dokter, sambil aktif di berbagai organisasi dan klub penerbangan.
Setelah memperoleh gelar dokter, Saleh mengambil spesialis ilmu Faal yang menjadikannya asisten dosen ilmu Faal pada NIAS yang terletak di Surabaya. Kemudian dilanjutkan dengan menjadi dosen pada Perguruan Tinggi Kedokteran Jakarta, dan menjadi Guru Besar di Klaten.
Pada tahun 1936, Prof Dr. Abdulrachman Saleh menjadi pemimpin perkumpulan penyiaran bernama Vereniging voor Oosterse Radio-Omroep (VORO) yang berhasil berkembang pesat pada 1937-1942 dibawah pimpinannya.
Tak berhenti disana, puncak perjuangannya dalam dunia penyiaran dibuktikan dengan usaha gigihnya dalam menyiarkan kemerdekaan Indonesia ke seluaruh penjuru dunia. Peristiwa itu terjadi pada 18 Agustus, dipelopori oleh Prof Dr Abdulrachman Saleh yang menggandeng beberapa pegawai radio dan seorang pemuda bernama Jusuf Ronodipuro.
Baca: Hartono, Sang Loyalis yang Terlupakan
Sebuah pemancar berkekuatan 85 meter bertempat di sebuah gedung di Jalan Menteng Raya, Jakarta kemudian dipindahkan ke Sekolah Tinggi Kedokteran di jalan Salemba.
Untuk pertama kalinya, 6 Radio Indonesia mulai mengudara dan menyiarkan berita-berita ke luar negeri yang dinamai call This is Voice of Free Indonesia atau Inilah “Suara Indonesia Merdeka”.
Dilaksanakan dalam bahasa Indonesia dan Inggris, siaran tersebut berhasil memperkenalkan pidato perdana proklamasi kemerdekaan Bung Karno dan Bung Hatta ke panggung dunia.
Setelah berhasil menyiarkan kemerdekaan Indonesia, Prof. Dr. Abdulrachman Saleh mengalihkan perhatiannya pada perjuangan di bidang kedirgantaraan, dengan memilih berjuang ke AURI. Banyak pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang yang telah rusak diperbaikinya sehingga dapat dipergunakan lagi oleh AURI.
Dalam tugasnya mencari bantuan luar negari berupa obat-obatan, Seorang industrialis India bernama PatNaik meminjamkan pesawatnya kepada beliau. Namun kenyataan pahit harus diterima Indonesia, pesawat yang membawanya dihujami peluru yang bertubi-tubi oleh Belanda.
Jenazah Prof Dr. Abdulrachman Saleh kemudian disemayamkan di pemakaman Kuncen, Yogyakarta. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa terhadap bangsa dan negara, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh dianugerahi pangkat Laksamana Muda Udara Anumerta.
Tak ketinggalan, pada 5 Desember 1958 dunia kedokteran pun memberinya gelar sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia. Dan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 071/TK/1974 tanggal 9 November 1974, almarhum Marsda TNI Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini: