Seni Budaya

Mengenal Rumah Adat Karo yang Biasa Disebut Siwaluh Jabu

×

Mengenal Rumah Adat Karo yang Biasa Disebut Siwaluh Jabu

Sebarkan artikel ini

 

Koropak.co.id – Beberapa rumah adat di Indonesia memiliki bentuk-bentuk khusus yang membedakan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Hal ini pun tentunya menandakan bahwa rumah adat tersebut dibangun tidak semata-mata hanya mengikuti iklim atau cuaca yang ada pada daerahnya, akan tetapi juga lebih kepada pemahaman dan pengetahuan budaya dari masyarakatnya.

Oleh karena itulah, rumah adat itu pun dapat dikatakan sebagai refleksi dari kebudayaan masyarakat empunya budaya. Berbicara mengenai rumah adat, rumah adat yang ada di Kabupaten Karo juga ternyata memiliki kriteria tersebut. Biasanya, masyarakat Karo menyebut rumah adat mereka dengan nama Rumah adat Karo atau Siwaluh jabu.

Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Siwaluh jabu sendiri memiliki arti satu rumah yang dihuni oleh delapan keluarga. Siwaluh jabu juga memiliki bentuk yang unik dan megah. Dikatakan “unik”, karena rumah itu sama sekali dibuat tanpa bantuan sebatang paku. Selain itu, dinding rumahnya juga tidak berdiri tegak lurus, melainkan dengan sudut kemiringan 120 derajat.

Dikatakan megah juga karena memiliki dimensi yang tinggi dan besar. Diketahui rumah tersebut memiliki panjang sekitar 17 meter dengan lebar sekitar 12 meter dan tinggi sekitar 12 meter. Semua dimensi itu juga didukung oleh 20 tiang pondasi kayu yang hanya berdiri di atas umpak batu. Di antara pertemuan tiang-tiang pondasi dan umpak batu juga diberi ijuk agar kayu pondasi tetap kering.

Fungsi ijuk pada rumah adat itu juga sebagai halangan agar hewan melata (ular) tidak bisa merayap melalui tiang-tiang kayu dan memasuki rumah. Kemegahan Siwaluh jabu juga dapat dilihat pada bagian atapnya yang memiliki hiasan dari anyaman bambu dan diberi bentuk-bentuk khusus sebagai simbol dari kesatuan hidup masyarakat setempat.

 

 

Baca : Mengungkap Sejarah dan Filosofi Rumah Adat Minangkabau

Masyarakat Karo menyebut bagian hiasan ini sebagai ayo, sedangkan atap berbentuk segitiga tempat diletakkannya ayo disebut dengan lambe-lambe. Sementara itu, dari segi usia bangunan, rata-rata Siwaluh jabu ini didirikan pada tahun 1880-an. Dengan faktor usia bangunan inilah yang membuat rumah adat Karo pun semakin lama semakin berkurang. Sebab di sisi lain, biaya perbaikannya juga sangat mahal.

Berdasarkan bentuk dan besaran fisiknya, rumah adat karo terbagi ke dalam 3 jenis yang meliputi Rumah Sianjung-anjung, Rumah mecu, dan Rumah Adat Kete. Untuk rumah Sianjung-anjung dan rumah mecu termasuk ke dalam kategori Siwaluh jabu. Kemudian yang menjadia perbedaannya yaitu pada bentuk tampak mukanya, namun untuk besaran interior dan pembagian ruangnya cenderung sama.

Sedangkan untuk rumah Kete hanya ada di Desa Dokan dan memiliki ukuran rumahnya yang lebih kecil dari Siwaluh jabu, atau bisa dikatakan separuh dari besaran Siwaluh jabu, namun bentuknya sama dengan rumah mecu. Rumah Kete di desa Dokan ini juga diketahui masih ada sampai dengan saat ini dan dimiliki oleh keluarga dari marga Sitepu. Sementara untuk rumah Sianjung-anjung, kini sudah tidak ada lagi alias punah.

Jadi, untuk saat ini rumah adat Karo yang masih ada adalah Siwaluh jabu dan rumah kete. Rumah adat Karo sendiri termasuk dalam kategori warisan budaya dikarenakan berfungsi sebagai alat bantu pengingat ‘mnemonic device’ empunya budaya yang terwujud dalam elemen-elemen pada bagian rumahnya yang berfungsi sebagai simbol pengatur tingkah laku dengan sesamanya maupun dengan alam lingkungannya (Septiady, 2012, 2013).*

 

Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini

 

error: Content is protected !!