Koropak.co.id - Selain ada Pasar Senen, Pasar Jumat, Pasar Pagi hingga Pasar Sore, ternyata di zaman dahulu juga terdapat Pasar Buah, Pasar Burung, Pasar Ikan hingga Pasar Gelap.
Seperti halnya di Solo, di bagian utara dan barat Pasar Gede ternyata ada sebuah pasar yang disebut Pasar Buah. Dengan berlatar belakang atap-atap khas Tionghoa di kawasan pecinan. Selain itu disana juga terdapat sebuah los modern yang panjang pada zamannya.
Selain didalam, ada juga pedagang yang mengambil lokasi diluar losa dengan mendirikan payung besar berbahan bambu dan dedaunan atau biasanya berbahan daun pisang kering (klaras) atau bisa juga dengan menggunakan daun kelapa kering (blarak).
Olivier Johannes Raap dalam bukunya "Kota Di Djawa Tempoe Doeloe" menuliskan, pada umumnya penduduk Jawa merupakan pembeli sejati yang kurang mengerti tentang perdagangan. Sehingga itulah yang menjadi penyebabnya di sebuah pasar kala itu selalu ada keributan.
"Saat itu para penjual dan pembeli berusaha untuk saling menipu dan ditipu secara bergantian hingga seringkali menyebabkan perselisihan tiada akhir dan tanpa ada intervensi dari polisi," tulis Olivier.
Olivier juga menjelaskan, tercatat sejak ratusan tahun, ada sebuah tradisi yang sering dilakukan orang Jawa yakni memelihara burung berkicau didalam sangkar sebagai pelengkap properti dari lelaki Jawa selain istri, kendaraan dan keris.
Akibat banyak diperdagangkan, sehingga di banyak kota disediakanlah Pasar Burung atau terkadang juga pasar hewan yang didalamnya menjual aneka binatang peliharaan kecil seperti kelinci dan ikan hias.
Pasar Burung tentunya memiliki ciri khas yang hampir sama di berbagai kota. Bahkan juga memiliki nasib yang sama dikarenakan lokasinya dulu ditengah kota yang kemudian digeser ke pinggiran.
Sementara itu, Pasar Burung yang ada di Yogyakarta saat itu diduga pada awalnya merupakan bagian dari Pasar Beringharjo. Akan tetapi pasar itu pada tahun 1960-an dipindahkan ke Jalan Ngasem.
Seiring berjalannya waktu, dikarenakan pasar itu yang terlalu ramai dan sempit, maka pada tahun 2010 Pasar Burung itu pun direlokasi ke tempat yang lebih luas di Jalan Bantul Yogyakarta.
Selain Pasar Buah dan Burung, tentunya ada juga Pasar Ikan yang berada di sebuah pulau di muara Sungai Ciliwung, pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1846.
Baca : Mengenal Hari Pasar dalam Kalender Arab dan Jawa
Tercatat, Pasar Ikan sendiri merupakan westzijdse pakhuizen atau gedung tepi barat yang berasal dari tahun 1650. Namun kini sudah berubah menjadi Museum Bahari.
Gedung lama dengan tiang klasik yang cantik Pasar Ikan itu sudah dibongkar dan diganti bangunan baru. Menariknya, ada hal yang sama sekali tidak berubah dari lokasi yang sering tergenang banjir ini adalah bau ikannya yang menyengat dan mengganggu hidung.
Selain itu, di sisi lainnya juga sudah tidak ada lagi aliran air hingga jembatan disana juga sudah menghilang. Di Bandung, sama halnya seperti banyak kota lain, pasar utama di daerah tersebut terletak di kawasan pecinan yang secara alami biasanya menjadi pusat perdagangan di sebuah kota.
Diketahui, kompleks pasar yang diberi nama Pasar Baru dan dibangun pada tahun 1884 itu untuk membedakannya dengan Pasar Lama yakni Pasar Ciguriang yang sudah ada di Bandung sejak tahun 1812.
Di Pasar Baru tersebut terdapat los-los pasar yang dibangun dibelakang jajaran pertokoan di sepanjang jalan dengan gaya dan pandangan modern sesuai zamannya agar pasar itu terlihat bersih dan rapih. Menariknya, di sebelah kanan dan kiri pintu masuk pasar itu dibangun menara kecil dengan atap yang khas sebagai gerbang masuk.
Sementara di Surabaya, terdapat sebuah Pasar Glap yang terletak di tepian Kali Mas sebelah Jembatan Merah. Pasar Gelap itu berada di Gedung Putih yang dibangun pada tahun 1891 di ujung barat Kembang Jepun Kawasan Pecinan Surabaya.
Di dalam Pasar Gelap itu, ada gang-gang sempit yang kurang terang dan menjadi tempat bagi pedagang kecil berjualan berbagai macam barang.
Istilah dari Pasar Gelap itu bisa diartikan juga sebagai pasar yang menjual berbagai macam barang gelap atau ilegal dari hasil mengutil, mencuri hingga menyelundupkan.
Tidak jauh dari Pasar Gelap di Kampung Melayu atau yang kini berada di lokasi Jalan Kalimati ujung timur, pada zaman dahulu terdapat sebuah pasar barang besi yang disebut oleh Belanda dengan sebutan Dievenpassar atau Pasar Maling. Namun kini, baik Pasar Glap maupun Pasar Maling itu sudah tidak ada.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di zamannya, Pulau Jawa dikenal sebagai tanah yang subur dengan peradaban yang gemilang. Salah satu yang paling menonjol adalah Kerajaan Kahuripan, sebuah entitas politik yang berdiri di atas warisan Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur, atau yang lebih dikenal sebagai Kerajaan Medang.
Kedalaman sejarah Kerajaan Kahuripan mengungkap sejarah yang kaya dan dramatis dari raja-raja Hindu-Buddha yang memerintah tanah Jawa.
Pada pusat kisah ini berdiri Raja Airlangga, sosok yang legendaris yang namanya terpahat dalam banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Timur.
Asal mula kerajaan ini terkait erat dengan kehidupan Airlangga. Berdasarkan catatan-catatan kuno, pusat Kerajaan Kahuripan diyakini berada di tanah yang sekarang dikenal sebagai Sidoarjo atau mungkin dekat Surabaya. Penataan ulang geografis dan politik Jawa pada abad ke-10 menandai kelahiran Kerajaan Kahuripan.
Berbagai sumber menunjukkan bahwa pindahnya kekuasaan dari Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur dalam era kepemimpinan Mpu Sindok, didorong oleh serangkaian faktor mulai dari perebutan kekuasaan, bencana alam seperti letusan Gunung Merapi, hingga ancaman dari kerajaan besar seperti Sriwijaya.
Dharmawangsa Teguh, raja puncak dari Kerajaan Mataram Kuno, memimpin dengan kebijaksanaan dan kekuatan. Namun, nasib tragis menimpanya saat pesta perkawinan tahun 1006, ketika kerajaan diserang oleh pasukan Raja Wurawari. Dharmawangsa Teguh tewas, namun keponakannya, Airlangga, selamat dari bencana itu.
Baca: Menguak Mitos Sendang Made, Tempat Sakral Petilasan Raja Airlangga
Diceritakan bahwa setelah tragedi tersebut, Airlangga, bersama sejumlah pengikut setianya mengasingkan diri di Gunung Wanagiri. Namun, panggilan takdir tidak bisa dihindari.
Tiga tahun kemudian, utusan rakyat dan pendeta dari Medang datang dan meminta Airlangga untuk mengambil alih tahta yang ditinggalkan Dharmawangsa Teguh. Airlangga dengan kebijaksanaannya, menerima dan menjadi pendiri Kerajaan Kahuripan.
Di bawah kepemimpinan Airlangga, Kerajaan Kahuripan berkembang pesat serta menunjukkan kejayaan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sastra dan seni.
Namun, kerajaan ini pun memiliki akhir. Sebelum meninggal dunia, Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua, menjadikannya awal dari dua kerajaan besar lainnya di Jawa yaitu Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala.
Cerita Kerajaan Kahuripan adalah sebuah epik tentang kejayaan, tragedi, dan warisan yang hidup hingga kini, mengingatkan kita tentang kekayaan budaya dan sejarah tanah Jawa.
Baca juga: Kediri, dari Wanita Mandul Hingga Kota Tertua di Indonesia
Serla Fadila
Koropak.co.id - Ketika Indonesia dikenal sebagai gudangnya keanekaragaman budaya, terdapat satu suku yang hidup dalam kediamannya di hutan-hutan Gorontalo, menjalani kehidupan dengan tradisi dan misteri yang khas milik Suku Polahi.
Terdengar asing di telinga kebanyakan, suku Polahi bukanlah suku asli Gorontalo, melainkan mereka yang terpaksa mengungsi, melarikan diri dari kebrutalan penjajahan Belanda di abad ke-17. Sebuah pelarian yang diabadikan dalam sebutan "Polahi", yang dalam bahasa Gorontalo berarti "melarikan diri" atau "bersembunyi".
Sebagai pelarian, mereka memilih keterasingan menjauhi sentuhan peradaban dan mendirikan masyarakatnya sendiri di hutan Boliyohuto, Paguyaman, dan Suwawa. Memilih ketenangan alam daripada ketidakadilan zaman.
Namun, apa yang menarik dari suku Polahi tidak semata-mata kisah pelarian mereka, melainkan praktik pernikahan yang mereka anut yakni perkawinan sedarah, atau yang lebih dikenal dengan istilah inses.
Baca: Ada Tolobalango di Gorontalo, Tradisi Sebelum Menikah
Di mata dunia, konsep ini mungkin tabu, mengundang kontroversi dan perdebatan. Namun, bagi suku Polahi, ini adalah tradisi yang telah mereka jalani sejak dahulu kala. Bukan semata karena tradisi, tetapi juga karena keterbatasan pemahaman mereka tentang biologi dan genetika.
Teka-teki yang lebih memikat dari kawin sedarah ini adalah fenomena genetika. Di berbagai belahan dunia, pernikahan sedarah seringkali memunculkan isu-isu kesehatan genetik pada keturunannya. Ironisnya, dalam kasus suku Polahi, tak ada satupun tanda keturunan dengan kelainan genetik, seakan menantang pemahaman ilmiah kita tentang biologi.
Kisah suku Polahi, dengan seluruh misteri dan keunikan tradisinya, mengingatkan kita tentang keragaman dan kedalaman sejarah budaya di Indonesia.
Setiap suku, setiap tradisi, memiliki cerita yang menunggu untuk diceritakan, masing-masing dengan keindahan dan tanda tanyanya sendiri. Suku Polahi, dengan semua keistimewaannya, menjadi saksi bisu atas kaya-raya kebudayaan yang dimiliki tanah air ini.
Baca juga: Kawin Tangkap di Sumba, Mengeksplorasi Kedalaman Tradisi & Kekayaan Budaya
Serla Fadila
Koropak.co.id - Gelombang perjuangan petani Indonesia terukir dalam sajian waktu, menyisakan jejak abadi dalam kanvas sejarah bangsa. Hari Tani Nasional, yang kini berlabuh setiap 24 September, bukan sekadar peringatan, melainkan refleksi mendalam atas kisah panjang perjuangan para pendulang bumi.
Tahun 2023 menandai peringatan ke-63 dari penetapan Hari Tani Nasional, semangat yang bermula dari kesadaran akan pentingnya pembebasan petani dari belenggu kesengsaraan.
Siapakah yang menyangka bahwa pembebasan ini memerlukan jalinan panitia yang dibentuk sejak 1948? Dari Panitia Agraria Yogya, Jakarta, hingga Rancangan Sadjarwo tahun 1960 semuanya berpadu hingga memuntahkan satu wujud nyata yang kita kenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA).
Dilansir dari distanbun.acehprov.go.id, Haji Zainul Arifin yang saat itu memegang tongkat kepemimpinan DPR-GR, bersama anggota lainnya membubuhkan tanda tangannya, mengokohkan UUPA sebagai tonggak baru Indonesia.
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengalirkan nadi kebijakan, menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam di bawahnya ada untuk kemakmuran rakyat. UUPA pun melahirkan, bukan hanya sekadar aturan, tetapi sebuah perubahan paradigma dari hukum agraria kolonial menuju kesatuan hukum agraria yang membumi serta menjiwai realitas kehidupan rakyat Indonesia.
Baca: 5 Fakta Seputar Hari Tani Nasional
Melangkah ke era orde baru, tatanan pertanian mengalami metamorfosis. Badan Litbang Pertanian hadir, Departemen Koperasi dibentuk, dan kesejahteraan petani menjadi fokus.
Inisiasi-inisiasi seperti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian menandai kemajuan teknologi dalam pertanian, berharap memberi petani kekuatan baru dalam mengolah tanah pertiwi.
Presiden pertama, Soekarno, dengan mata berbinar semangat menandatangani Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963, memberikan restu resmi atas Hari Tani Nasional. Sebuah momentum yang menjadi pengingat bagi kita semua betapa tanah, sebagai sumber kehidupan, harus dihormati, dilestarikan, dan dikelola dengan cinta.
Dalam irama sastra, setiap 24 September kini menjadi hari dimana kita, sebagai bangsa, menyelami kembali makna dan nilai perjuangan para petani. Kita diingatkan untuk selalu menghargai jerih payah mereka, dan mengenang setiap tetes keringat yang menjadikan bumi ini subur dan berlimpah.
Baca juga: Kenali Tiga Ritual Petani Kita
Serla Fadila
Koropak.co.id - Dekap Nusantara, senantiasa terasa hangat dengan nyala api gotong royong yang tak pernah padam. Di setiap lapisan masyarakat, gemerlap sejarah telah merekam, bagaimana tangan-tangan ini saling bersatu, entah demi kemanusiaan ataupun keagamaan.
Gotong royong, ibarat pita emas yang menghiasi sejarah kepulauan Melayu-Nusantara. Dari zaman ke zaman, bentuknya mungkin bermetamorfosis, tetapi jiwanya tetap abadi, memancar sebagai warisan budaya tak ternilai.
Bermula dari tenaga yang saling berbagi, antar tetangga membantu mendirikan rumah atau menyuburkan lahan pertanian, semuanya dikerjakan dalam pelukan kebersamaan. Adalah para primus interpares yang menjadi punggawa dalam mengatur irama kerja bersama, memastikan setiap pengerjaan berjalan serasi dan harmonis.
Dilansir dari historia.id, ketika silsilah Hindu-Buddha mengalir ke daratan Nusantara, gotong royong pun menerima hembusan ajaran baru. Meskipun niatnya tetap sama yakni berbagi hasa saja mediumnya berubah. Mulailah era pemberian dana dalam tradisi Hindu dan seva, bentuk kerja bakti untuk kuil dan candi.
Pada masa ini terlihat jelas bagaimana gotong royong menjadi jembatan antara lapisan masyarakat. Bagaimana para pekerja, petani, pedagang, dan agamawan bersatu padu dalam menciptakan karya-karya monumental, seperti candi-candi yang kini menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu.
Baca: Belajar Gotong Royong dari Suku Minahasa dengan Tradisi Mapalus
Era Kesultanan Islam datang, membawa angin segar bagi gotong royong. Meski masih bertemakan filantropi, namun semangatnya disalurkan melalui zakat, sedekah, dan wakaf. Setiap bentuk memiliki tujuan yang mulia, mengajarkan kita bahwa memberi bukanlah sekadar tindakan, namun juga refleksi dari jiwa yang penuh empati.
Perjalanan gotong royong tak berhenti di sana. Kolonialisme pun memberikan kontribusi tersendiri, dengan ulama dan pesantren sebagai pilar utama. Meski sempat disalahgunakan oleh beberapa pihak, esensi gotong royong tetap terjaga.
Dalam sajak sejarah ini, jelas bahwa gotong royong bukan hanya sekedar tradisi. Ia adalah simfoni kebersamaan yang telah menjadi DNA orang Indonesia. Sebuah melodi yang mengalun indah, mengajarkan kita tentang kekuatan bersama dan arti sejati kemanusiaan.
Seakan terjebak dalam pusaran zaman yang terus berputar, kita, generasi muda, kadang lupa bahwa dalam setiap urat nadi bangsa ini mengalir darah kebersamaan. Semangat itulah yang pernah menggerakkan ribuan tangan untuk bersatu, melawan penjajah, dan merebut kemerdekaan.
Sebagai generasi muda, mari kita bangun kembali jembatan persaudaraan yang mungkin sempat retak. Karena dengan semangat gotong royong, kita bukan hanya menghidupkan kembali jiwa kebangsaan, tetapi juga meneguhkan identitas kita sebagai anak bangsa.
Baca juga: Sapaan 'Bung', Merenung Semangat Persaudaraan dalam Sejarah
Serla Fadila
Koropak.co.id - Sebuah warisan kuliner dari Sulawesi Selatan yang telah melewati berbagai era adalah Coto Makassar. Pada pandangan pertama, hidangan ini mungkin tampak sederhana, namun di baliknya adalah tapestri sejarah yang kaya.
Daging sapi dan jeroannya, yang telah diolah dengan cermat, disajikan dalam kuah bumbu rempah kaya. Hidangan ini sering ditemani dengan burasa - sebuah variasi lokal dari lontong yang memadukan beras dan santan.
Dari seluruh penjuru dunia, orang datang untuk mencicipi sensasi rasa dari Coto Makassar yang memiliki kombinasi gurih, manis, dan rempah-rempah yang khas.
Dilansir dari disbudpar.sulselprov.go.id, sejarah coto ini berasal dari masa kejayaan Kerajaan Gowa, yang berpusat di Sombaopu pada abad ke-16. Dalam lingkaran kerajaan, Coto Makassar dulu dihidangkan sebagai sajian spesial untuk tamu-tamu terhormat dan acara ritual kerajaan.
Ada juga riwayat yang mengisahkan bagaimana hidangan ini diciptakan oleh rakyat biasa dan diberikan kepada para prajurit kerajaan sebagai makanan penyemangat sebelum mereka bertugas menjaga benteng kerajaan.
Baca: Lembayung Sejarah Kejayaan dan Warisan Kerajaan Gowa Tallo
Selain itu, Coto Makassar juga menunjukkan pengaruh kuliner Tionghoa, khususnya dalam penggunaan sambal tauco sebagai ciri khasnya. Penambahan tauco ini adalah tanda persilangan budaya kuliner, dengan percampuran rasa yang mengesankan.
Namun, apa yang paling menonjol dari Coto Makassar adalah bumbu rempahnya yang begitu kompleks. Menyisir sejarah, diketahui bahwa Coto Makassar memadukan hingga 40 jenis bumbu tradisional.
Bukan hanya soal rasa, namun bumbu-bumbu tersebut memiliki manfaat kesehatan. Seperti penggunaan daun bawang dan bawang goreng, yang tidak hanya menambah rasa namun juga memberikan manfaat kesehatan bagi para penikmatnya.
Dengan sejarah panjang dan warisan budaya yang kaya dari hidangan ini, bukan hanya menjadi simbol kuliner Sulawesi Selatan tetapi juga catatan sejarah tentang bagaimana makanan dapat menceritakan kisah tentang sebuah masyarakat dan zamannya.
Baca juga: Lima Kekayaan Budaya Makasar Ini Tetap Lestari
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di balik lembayung Sulawesi, tersimpan sejarah luhur Kerajaan Gowa Tallo, kesultanan yang gemerlap dengan nuansa Islam dan juga dikenal dengan sejumlah nama yang eleganantara lain, Kerajaan Gowa, Kesultanan Gowa, atau Kerajaan Makassar.
Penjuru-penjuru kota ini menyimpan jejak masa lalu, yang mengisahkan keagungan militer dan pusat perdagangan yang hidup di bawah sinar Sultan Hasanuddin.
Makassar, Sulawesi Selatan, adalah panggung besar bagi Kerajaan Gowa Tallo. Namun, pusat kerajaan ini berdetak di Kota Sungguminasa, Kabupaten Gowa, di mana semesta kekuasaannya meluas bukan hanya di Sulawesi tapi juga merentang hingga Kalimantan dan Nusa Tenggara.
Dilansir dari berbagai sumber, sebelum berdiri kokoh sebagai Gowa Tallo, wilayah ini terbagi menjadi sembilan daerah kecil yang masing-masing dikepalai oleh seorang Raja Kecil.
Dalam kemelut kebingungan tanpa seorang pemimpin besar, datanglah Tumanurung pada tahun 1320, memimpin sembilan raja kecil, mengukuhkannya sebagai Raja Gowa pertama, yang bergelar Karaeng Sombaya Ri Gowa.
Kehidupan di kerajaan ini adalah tapestri silsilah yang rumit dan lamanya pemerintahan. Pada awalnya, masyarakatnya berpegang teguh pada animisme dan agama Hindu, mempercayai setiap makhluk memiliki roh yang perlu dihormati.
Baca: Istana Balla Lompoa, Jejak Langkah Kerajaan Gowa di Tengah Dekade
Namun, angin perubahan berhembus pada tahun 1051 H atau 1605 M ketika Dato Ribandang memperkenalkan Islam. Sang Raja, I Mangarangi Daeng Manrabia, dengan hangat memeluk Islam dan bergelar Sultan Alauddin.
Puncak keemasan Kerajaan Gowa Tallo terjadi saat kekuasaan Sultan Hasanuddin, sang "Ayam Jantan dari Timur." Namanya tak hanya dikenang karena keberaniannya dalam menghadapi VOC, tetapi juga karena visinya dalam memajukan pendidikan dan kebudayaan di Gowa Tallo.
Kerajaan ini juga dikenal sebagai pusat perdagangan maritim di Indonesia bagian timur, sebuah magnet yang menarik saudagar muslim dari berbagai penjuru. Sultan Hasanuddin, dengan tekad besi, melawan VOC, menghadapi pertempuran yang memakan banyak korban.
Setelah badai perang, kedamaian harus ditemui. Sultan Hasanuddin menerima tawaran damai dari VOC, menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667. Meski begitu, pertempuran kembali pecah dan kerajaan akhirnya harus merelakan Benteng Somba Opu. Sultan Hasanuddin, dengan kehormatan, mengundurkan diri pada 1 Juni 1669.
Pasca kejatuhan itu, Kesultanan Makassar menjalani transisi kepemimpinan. Di era Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, kesultanan ini berintegrasi dengan Republik Indonesia.
Jejak Kerajaan Gowa Tallo masih terpahat jelas hingga kini, seperti Istana Balla Lompoa yang gagah berdiri di Kota Sungguminasa, atau Benteng Fort Rotterdam yang menyimpan cerita perjuangan.
Baca juga: Benteng Fort Rotterdam, Saksi Bisu Kejayaan Kerajaan Gowa
Serla Fadila
Koropak.co.id - Pada 22 September, dunia menari tanpa raungan mesin. Hari Bebas Kendaraan Bermotor, sebuah mantra global yang mengajak kita untuk meninggalkan jejak kaki daripada jejak asap.
Tidak diragukan lagi, mesin-mesin bertenaga bensin telah mengubah tapak kota-kota kita. Namun, dengan kegemilangan teknologi tersebut datanglah bayang-bayang yang gelap mengakibatkan polusi, kecelakaan, dan dampak kesehatan lainnya.
Kembali ke dekade 1950-an, di kota-kota Eropa yang bersejarah, sudah ada kekhawatiran mengenai invasi budaya mobil ke pusat kota. Jalan-jalan di Belanda dan Belgia, contohnya, sempat hening dari bunyi mesin pada tahun 1956 dan 1957, menggema keinginan masyarakat untuk mengambil napas lega dari asap.
Dilansir dari tirto.id, pada tahun 2000, dunia memutuskan untuk memberi ruang bagi keheningan tersebut, setiap 22 September, dan mengajak kota-kota di seluruh penjuru benua untuk bergabung dalam festival tanpa kendaraan.
Gagasan besar di balik hari tersebut adalah untuk memperkenalkan alternatif berkelanjutan. Berjalan kaki atau mengayuh sepeda, naik transportasi umum, atau eksplorasi cara lain untuk bergerak tanpa bergantung pada bensin.
Menilai sepuluh tahun setelah hari tanpa mobil pertama kali digagas, aktivis transportasi berkelanjutan mengintip ke depan dengan harapan untuk melihat impak dari gerakan yang mereka galang.
Baca: Sejarah 17 September: Perjalanan dan Kesadaran Perhubungan Indonesia
Indonesia, negeri seribu budaya ini tidak tinggal diam. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan nada dengan petunjuknya sendiri: Car Free Day.
Lebih dari sekedar inisiatif global, ini adalah panggilan bagi masyarakat Nusantara untuk mengevaluasi hubungannya dengan kendaraan bermotor. Mereka diajak untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan transportasi dengan kualitas udara yang kita hirup setiap hari.
Dengan panduan dari Kementerian, Indonesia mengukuhkan Hari Bebas Kendaraan Bermotor sebagai sebuah ritual mingguan, bukan hanya satu hari dalam setahun.
Ritual ini dilakukan minimal 8 jam, dari pukul 06.00 hingga 14.00 WIB, memastikan bahwa kita memiliki cukup waktu untuk mengambil sampel kualitas udara dan melihat dampak riil dari pengurangan emisi.
Mungkin saatnya kita menari bersama, dalam langkah-langkah yang lebih berkelanjutan. Sebuah tarian tanpa asap, di mana bumi dan kita sama-sama bernapas dengan lebih lega.
Baca juga: 21 September: Mengenang, Merenung, dan Menggugah Kesadaran Alzheimer Sedunia
Serla Fadila
Koropak.co.id - Di antara semaraknya warna kehidupan, muncul bayangan kabur yang melanda ingatan. Bayangan tersebut adalah penyakit Alzheimer, sebuah anomali dalam bentang kanvas memori manusia.
Di tengah derap modernitas dan kemajuan ilmu kedokteran, Alzheimer tetap menjadi misteri dari suatu gangguan yang merenggut warna cerah dari potret kehidupan seseorang.
Tatkala jarum kalender menunjuk tanggal 21 September, dunia menandai peringatan penting bertajuk Hari Alzheimer Sedunia.
Dilansir dari nursing.ui.ac.id, peringatan ini pertama kali muncul pada tahun 1994, seakan menjadi simbol kesadaran atas keberadaan Alzheimer Disease International (ADI).
Organisasi yang fokus dalam mengkaji dan memahami Alzheimer ini berdiri teguh mengajak manusia melihat lebih dalam akan kondisi ini.
Dalam cakrawala kesadaran global, peringatan ini bukan hanya semata-mata hari, bulan September menjadi bulan refleksi penuh empati yang dinamakan Bulan Peduli Alzheimer Sedunia.
Baca: Sejarah Hari Kanker Paru Sedunia, Dikampanyekan Pertama Kali Pada 2012
Sebuah kesempatan bagi dunia untuk merenung, mendidik, serta membangkitkan simpati terhadap mereka yang hidup dengan Alzheimer dan demensia.
Menembus kehangatan September 2023, Bulan Alzheimer Sedunia mengusung tema 'Never too early, never too late'. Sebuah frasa yang melambangkan urgensi untuk mengenali risiko dini dan adopsi tindakan preventif.
Laman resmi Alzheimer's Disease International (ADI) menggambarkan dengan puitis bahwa kampanye ini seperti peta navigasi dalam mengarungi lautan memori, menyoroti pentingnya identifikasi dini dan strategi pengurangan risiko yang berkelanjutan.
Ada refleksi mendalam tentang bagaimana Alzheimer dan demensia lainnya bisa meresap perlahan, lama sebelum tanda-tanda pertama muncul di horizon kehidupan.
Kesadaran akan pentingnya merawat otak sepanjang hayat, dan pilihan-pilihan yang diambil di dalamnya, menjadi suatu tuntunan.
Dengan proyeksi global bahwa jumlah individu dengan demensia bisa meningkat tiga kali lipat pada 2050, jeritan jiwa ini menjadi simfoni yang mendesak untuk didengar dan direspon.
Baca juga: Sejarah Hari Hepatitis Sedunia, Erat Kaitannya dengan Ilmuwan Dr Baruch Blumberg
Serla Fadila
Koropak.co.id - Pada suatu hari yang melintasi lintasan waktu, saat bayu membelai bumi pada 21 September, dunia berhenti sejenak, tenggelam dalam harmoni.
Ini adalah saat di mana tinta sejarah menuliskan catatan penting dalam lagu perdamaian global, yang kita kenal sebagai Hari Perdamaian Dunia atau World Peace Day.
Menyelami arsip digital dari International Day Peace, kita menemukan kebenaran bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB), sang orkestra global, telah mendeklarasikan momentum ini sebagai refleksi dari perdamaian. Namun, tahukah kita dari mana nada-nada perdamaian ini berasal?
Dilansir dari kumparan.com, Hari Perdamaian Dunia adalah komposisi yang diciptakan untuk mengajak seluruh manusia menyatu, melampaui disonansi perbedaan yang seringkali menjadi sumber disrupsi.
PBB, sebagai konduktor dalam orkestrasi perdamaian global, memimpin melodi ini, mengajak kita semua menggenggam komitmen pada perdamaian dan membangun harmoni dalam budaya perdamaian.
Notasi penting diterjemahkan dalam resolusi Nomor 55/282 tahun 1991, menjadi tonggak awal dari simfoni perdamaian ini. Namun, pertunjukan perdana telah dimulai lebih awal, tepatnya pada 1982, di mana pelbagai negara, kelompok, dan individu memainkan part mereka dalam chorus perdamaian ini.
Baca: Hari Demokrasi Internasional: Mengenang Hak Setiap Individu dalam Pemerintahan
Kita pun mendengar variasi melodi pada 2013, saat Sekretaris Jendral PBB mengalunkan tema pendidikan perdamaian, mengajak seluruh generasi muda menjadi pemain penting dalam konser perdamaian global.
Dari konser-konser di seluruh dunia hingga tradisi anak sekolah Tanzania yang menuliskan notasi perdamaian mereka, kita diajak bernyanyi bersama.
Dan di tengah hiruk pikuk dunia, di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah lonceng berdentang. Lonceng perdamaian ini, dengan gravir kata-kata "Long Live Absolute World Peace", menjadi intro dari simfoni perdamaian setiap tahunnya.
Mereka yang mendengarnya akan menemukan koin dari seluruh benua yang merepresentasikan suara-suara kecil para anak dunia, menyuarakan keinginan damai.
Dan begitulah, melalui jejak-jejak sastra, kita menyaksikan sejarah resonansi Hari Perdamaian Dunia, simfoni global yang terus berkumandang, mengajak kita semua menyanyi dalam harmoni.
Baca juga: Hari Remaja Internasional 2023: Keterampilan Hijau untuk Pemuda Menuju Dunia yang Berkelanjutan
Serla Fadila
Koropak.co.id - Pulau Dewata, Bali, tak hanya terkenal akan pesonanya yang memukau, melainkan juga perlawanan heroik dan dramatis yang tersemat dalam sejarahnya.
Setiap 20 September, masyarakat Bali memiliki peringatan Hari Puputan Badung sebagai pengingat perlawanan terhadap ekspedisi militer pemerintah kolonial Belanda V di Badung.
Dilansir dari situs resmi Kemendikbud, menelusuri jejak waktu antara tahun 1902 hingga 1906, Pulau Bali mendidih dalam pertempuran melawan cengkeraman kolonial Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda meyakini bahwa dengan menguasai Kerajaan Badung, mereka seolah-olah menguasai pulau dengan seluruh keragamannya.
Namun, dengan semangat membara, Raja Badung saat itu, I Gusti Ngurah Made Agung, bersama rakyatnya berdiri teguh, meski dilanda ketidakseimbangan kekuatan militer.
Terinspirasi oleh kebanggaan dan harga diri, semangat puputan merebak. Meskipun hanya bersenjatakan alat tradisional, rakyat Bali bersatu melawan kekuatan militer Belanda yang modern.
Kecaman atas intervensi Belanda atas kedaulatan Badung bukan hanya berhenti pada perlawanan fisik. Bagi masyarakat Bali, puputan merupakan manifestasi dari nilai-nilai tinggi ksatria - pengorbanan untuk kedaulatan dan keutuhan negara serta pembelaan terhadap kebenaran hingga titik darah penghabisan.
Baca: Unik dan Mengerikan! Bali Punya Ritual Mencabik Jenazah Beramai-ramai
Sebagai bentuk penghargaan atas keberanian dan pengorbanan yang telah dilakukan, pada 12 November 1997, Monumen Puputan Badung didirikan.
Monumen yang berdiri kokoh ini dihiasi tiga patung, masing-masing mewakili perempuan, laki-laki, dan anak-anak, sebagai gambaran dari seluruh lapisan masyarakat yang ikut serta dalam perjuangan.
Tak sekadar menjadi catatan sejarah, Puputan turut menegaskan integritas, keberanian, dan kebersamaan antara raja dan rakyat Bali. Hal ini didukung oleh bukti-bukti historis yang tak terbantahkan.
Peristiwa tragis yang merenggut 7000 nyawa ini seharusnya menjadi pencerah bagi kita semua bahwa perjuangan kemerdekaan tak hanya berarti pertempuran fisik, namun juga menghargai keberagaman dan kekayaan budaya kita.
Seiring berjalannya waktu, keberagaman yang ada pasca-kemerdekaan seringkali menjadi sumber perpecahan. Namun, sesuai dengan visi Nawacita Presiden Jokowi, perbedaan seharusnya menjadi simbol kekayaan dan identitas bangsa, bukan sumber konflik.
Sejarah Puputan Badung bukan hanya tentang perjuangan, tapi juga tentang kesetiakawanan, pengabdian, dan semangat untuk menjadikan kemerdekaan sebagai realitas yang dirasakan di setiap penjuru negeri.
Baca juga: Keajaiban Desa Penglipuran, Simbol Keharmonisan Alam dan Kebudayaan Bali
Serla Fadila
Koropak.co.id - Dengan hembusan melodinya yang khas, lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” ciptaan Ibu Soed memancarkan pesan moral dan perasaan mendalam.
Di dalam liriknya tersembunyi cerita bahwa bangsa Indonesia adalah pelaut ulung yang telah memahat sejarah kemaritiman mereka di atas gelombang samudera.
Dilansir dari situs resmi Kemdikbud, sebelum bahasa Austronesia berbicara di kepulauan Nusantara, Jawa telah menjadi saksi bisu kedatangan Homo Sapiens, seperti Homo Wajakensis.
Von Reitschoten pada 1889 menemukan fosil yang menjadi bukti nyata peradaban masa lalu di daerah Wajak, Jawa Timur. Di tengah rahasia fosil tersebut, Eugene Dubois menggali kisah dari serpihan-sepihan sejarah yang menuturkan tentang kehadiran manusia-manusia kuno.
Bukan hanya di Jawa, jejak Homo Sapiens berlalu lalang di berbagai wilayah, dari Serawak di Malaysia hingga Palawan di Filipina. Fosil yang ditemukan menunjukkan bahwa, ribuan tahun silam, Indonesia telah dihuni oleh makhluk cerdas dan penuh misteri.
Di Lembah Bengawan Solo, von Koenigswald dan Weidenrich menemukan fosil lain yang menceritakan saga manusia purba, Homo Soloensis. Mengungkap rahasia dari Pleistosen, Homo Sapien telah melalui berbagai tahap evolusi dan adaptasi.
Begitu juga kisah dari Pegunungan Sewu, di mana penemuan di Situs Goa Braholo menuturkan kehadiran manusia berbeda ras, namun tetap bersaudara. Semua ini menandakan Jawa sebagai ladang subur bagi berbagai jenis Homo Sapiens, yang menghuni, beradaptasi, dan akhirnya menjejakkan kisahnya di sejarah.
Baca: Kala Kerinduan Istri Pelaut Tergambar Indah dalam Motif Batik Madura
Dari daratan Cina Selatan, terjadi eksodus bangsa Mongol menuju Taiwan sekitar 3500 SM. Mereka membawa dengan mereka ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang kemudian bertransformasi menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Perjalanan panjang mereka melewati Taiwan, lalu berakhir di Pantai Utara Jawa.
Situs-situs kuno di Jawa Tengah dan sekitarnya menuturkan kisah peradaban yang luar biasa. Mereka adalah para pelaut, penjelajah, dan pedagang yang menjadikan Indonesia sebagai pusat kemaritiman masa lampau.
Kern, dalam pandangannya, menyebutkan bahwa Nusantara berasal dari daratan Asia. Sebuah keragaman budaya dan ras yang kemudian berbaur, beradaptasi, dan menciptakan identitas bangsa yang kita kenal sekarang sebagai Indonesia.
Kemaritiman, bukan sekadar tentang laut, namun juga tentang kehidupan di daratan dan interaksi dengan dunia luar. Masa prasejarah hingga sejarah abad ke-5–15 Masehi menandai kejayaan maritim bangsa Indonesia yang kini menjadi inspirasi bagi generasi saat ini untuk terus melanjutkan kejayaan tersebut.
Situs-situs kubur di Pantura Jawa menjadi saksi bisu dari kehidupan masyarakat yang maju dan memiliki kecintaan mendalam terhadap laut. Setiap fragmen fosil dan artefak adalah syair dari puisi masa lalu yang mengekspresikan kejayaan, keberanian, dan kecintaan bangsa Indonesia terhadap samudera.
Baca juga: Sejarah Singkat Sriwijaya, Sang Penguasa Maritim Asia Tenggara
Serla Fadila
Koropak.co.id - Dalam lantunan ombak dan bisikan angin laut, ada sebuah cerita tentang bajak laut. Meski bayang-bayangnya kerap terselimuti romansa petualangan dan misteri, kaum pelaut ini memiliki bahasa khusus yang menjadi identitas mereka.
Dilansir dari kumparan.com, antara berbagai cerita yang tersebar, ada satu hari spesial yang mengajak kita semua untuk berbicara layaknya bajak laut. Sebuah perayaan yang menarik hati dan membangkitkan semangat petualangan.
Dekapan sejarah menyebutkan, bajak laut pertama kali muncul di kepulauan Yunani, mengejar kapal dagang yang berlayar tenang di Laut Mediterania sekitar tahun 500 SM.
Dalam buku "Tinggalkan Sekolah Sebelum Terlambat" karya Lala Herawati Dharma, ada penjabaran mendalam tentang bagaimana para bajak laut berlayar mengejar emas batangan dan mata uang perak kuno dengan penuh determinasi.
Baca: Laksamana Raja di Laut, Sang Penjaga Lautan yang Tersohor dari Bengkalis
Tetapi di balik semua itu, ada satu aspek unik dari bajak laut yang jarang disoroti yaitu bahasanya. Dibuat pada tahun 1995 oleh John Baur dan Mark Summers, "Hari Bahasa Bajak Laut Internasional" atau yang dikenal dengan "International Talk Like a Pirate Day" menjadi sebuah perayaan tahunan setiap 19 September.
Sebuah hari di mana kita semua diajak untuk meresapi dan berbicara dengan gaya khas bajak laut. Perayaan ini bukan sekadar ucapan, tetapi sebuah kembali ke masa di mana "Ahoy, Matey!" bukan sekadar sapaan, melainkan simbol persahabatan dan petualangan.
Hari ini mengingatkan kita tentang bajak laut dengan pasak, burung beo, dan peta harta karun yang menjadi simbol mereka.
Dalam keramaian zaman modern, Hari Bicara ala Bajak Laut menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, mengingatkan kita tentang kekayaan budaya dan sejarah yang menawan di balik petualangan bajak laut.
Baca juga: Pertempuran Laut Aru dan Cikal Bakal Lahirnya Hari Dharma Samudera